Integrasi Agama dan Sains (Kuliah PAI)
A. PENDAHULUAN
Berbicara tentang integrasi agama dan sains, dari dulu hingga saat
ini masih saja diperbincangkan. Ada yang mengatakan, jika kita berbicara
tentang agama maka jauhkan dahulu sains, dan jika kita sedang berbicara sains jauhkanlah dahulu agama, karena keduanya belum ada titik temu.
Ada juga aliran yang beranggapan bahwa agama(ilmu Ketuhanan)
tidak dapat dilampaui dengan akal(ilmu pengetahuan), begitu juga dengan lainnya yang mengatakan bahwa akal dapat melampaui agama.
Menurut agama Islam, agama dan sains sebenarnya keduanya
tidak perlu diintegrasikan karena pada dasarnya keduanya sudah
terintegrasi dari asalnya. Di dalam agama yang mana berpedoman dengan
AL-Qur’an dan Sunnah mengajak umat manusia untuk mencari dan
mendapatkan ilmu. Secara jelas AL-Qur’an memberikan dorongan kepada
manusia untuk befikir, meneliti, dan mengobservasi guna untuk
mendapatkan suatu ilmu.
Jika berbicara tentang agama dan ilmu, tempat belajar mengajar
seperti Sekolah-sekolah, Universitas, Perguruan Tinggi yang seharusnya
mengajarkan pendidikan, cara berperilaku yang baik. Dengan zaman yang
semakin maju malah bertambah banyak mahasiswa yang berperilaku tidak
baik, berkurangnya tingkat kesopanan, suka dengan pergaulan bebas, dan
mengikuti budaya kebarat-baratan.
Kemudian dalam hal ini muncullah beberapa permasalahan
bagaimana integrasi agama dan sains dalam Islam, konsep sains terhadap
agama, serta bagaimana implikasi integrasi agama dan sians dalam
kurikulum pendidikan Islam. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah
untuk menganalisis implikasi dari integrasi agama dan sains dalam
pendidikan Islam.
2
B. PEMBAHASAN
1. Integrasi Agama dan Sains: Melihat Sisi Normatif AL-Qur’an
Adanya pemisahan ilmu antara ilmu agama dan ilmu sains yang terjadi
sejak zaman Al-Ghazali, dimana Al-Ghazali pada saat itu membuat skala
prioritas atau konsep dalam mempelajari ilmu yaitu bahawa pendidikan
pertama yang harus dilakukan oleh semua penuntut ilmu ialah pokok-pokok
agama terlebih dahulu. Setelah menguasai pokok-pokok ilmu agama
selanjutnya dipersilahkan untuk mempelajari ilmu umum atau ilmu agama
secara mendalam. Akan tetapi konsep tersebut banyak disalahpahami oleh
sebagian orang bahwa hal tersebut sebagai dikotomi ilmu, kesalahpahaman
inilah yang akhirnya membuat ilmu sains atau ilmu umum dinomorduakan.1
inilah yang sebenarnya menjadi latar belakang adanya dikotomi ilmu yang
mana hal tersebut sebenarnya menjadi suatu masalah yang harus diselesaikan.
Salah satu cara untuk menyelesaikan masalah tersebut yaitu dengan
mengintegrasikan antara agama dan sains.
Adanya dikotomi ilmu ini merupakan suatu kekeliruan yang mana akan
menimbulkan tindakan manusia yang keliru juga. Tindakan keliru ini akan
menimbulkan suatu mudharat bagi manusia karena salah satunya akan
menimbulkan suatu kesengsaraan. Sebagai contoh yaitu disaat sekarang sains
dan teknologi begitu maju, seharusnya umat manusia mencapai suatu
kebahagiaan, akan tetapi yang terjadi ialah umat manusia justru mengalami
keresahan dan kekeringan jiwa serta kerusakan alam terus saja terjadi.
Ironisnya, paham inilah masih banyak digunakan atau dijadikan landasan
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang kemudian diajarkan di
sekolah-sekolah.2
Berbicara mengenai mengintegrasikan agama dan sains sebenarnya
keduanya tidak perlu diintegrasikan karena pada dasarnya keduanya sudah
terintegrasi dari asalnya. Di dalam agama yang mana berpedoman dengan
AL-Qur’an dan Sunnah mengajak umat manusia untuk mencari dan
1Fahri Hidayat, (Pengembangan Paradigma Integrasi Ilmu; Harmonisasi Islam dan Sains dalam Pendidikan. Jurnal Pendidikan Islam. 2015 Vol. 4, No. 2), hlm. 300.
2Fuad Mahbub Siraj,(Integrasi Islam dan Sains, 2013), hlm. 437.
3
mendapatkan ilmu. Secara jelas AL-Qur’an memberikan dorongan kepada
manusia untuk befikir, meneliti, dan mengobservasi guna untuk mendapatkan
suatu ilmu yang mana tercantum di dalam QS. al-Ankabut ayat 20 yang
artinya:
“Katakanlah: berjalanlah di muka bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan manusia dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhunya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.3
Memang AL-Qur’an pada dasarnya merupakan suatu petunjuk dan
pegangan dalam beragama, namun diantara isinya menyuruh umat Islam
untuk banyak berpikir. Hal ini dimaksudkan agar mereka melalui pemikiran
akalnya sampai kepada kesimpulan adanya Allah sang Pencipta alam
semesta.Ayat tersebut juga merupakan salah satu ayat yang menyuruh
manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Kata-kata yang dipakai AL-Qur’an dalam menggambarkan kegiatan
berpikir diantarannya ialah:
a. Kata-kata ‘aqala, yang mengandung arti mengerti, memahami dan berpikir,
diantaranya terdapat dalam QS. al-Baqarah ayat 242, al-Anfal ayat 22 dan
an-Nahl ayat 11-12.
b. Kata nazhara, yang memiliki arti berpikir dan merenungkan atau menalar.
c. Kata tafakkara, yang mempunyai arti berpikir
d. Kata tazakkara, yaang berarti mengingat, memperoleh peringatan,
mendapat pelajaran, memperhatikan dan mempelajari, yang semuanya
mengandung perbuatan berpikir4.
AL-Qur’an telah memberikan konstribusi yang besar bagi manusia untuk
belajar dan menimba ilmu. Oleh sebab itu, manusia sebagai orang yang
membuat AL-Qur’an berbicara berkewajiban melakukan eksploitasi dan
elaborasi dengan ayat-ayat kauniyah untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Artinya bahwa bagaimana ayat-ayat qauliyahyang ada dalam AL-Qur’an
3Khozin, Khazanah Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), 2013, hlm.79.
4Fuad Mahbub Siraj, Integrasi Islam dan Sains. hlm. 436.
4
mampu dijadikan sebagai simbol-simbol sains untuk kepentingan umat
manusia itu sendiri. Namu faktanya, persepsi masyarakat terhadap ajaran AL-
Qur’an belum sepenuhnya sesuai dengan petunjuk AL-Qur’an.5 Seharusnya
AL-Qur’an mampu dijadikan sebagai kacamata kehidupan untuk membaca
alam mikro dan makro, sebab AL-Qur’an merupakan rujukan kehidupan
manusia.
Pola pemikiran tersebut mengidentifikasikan bahwa alam ini dan
kejadian-kejadian yang terbentuk dalam AL-Qur’an disebut ayat-ayat Allah,
demikian pula kalimat-kalimat dalam AL-Qur’an pun disebut dengan istilah
yang sama, yakni ayat. Hal ini menunjukkan bahwa keduanya, baik alam
maupun AL-Qur’an adalah ayat yang berasal dari sumber yang sama,
perbedaannya adalah bahwa alam merupakan ayat yang diciptakan, sementara
AL-Qur’an merupakan ayat yang diturunkan. Dengan demikian, bagi seorang
ilmuan muslim seharusnya kegiatan sains pada dasarnya menjadi suatu usaha
untuk membaca dan menafsirkan “kitab Alam” sebagaimana halnya ia
membaca dan menafsirkan AL-Qur’an. Apalagi agama yang merupakan
suatu sistem yang dirancang oleh Tuhan tidak mungkin akan bertentangan
dengan hukum-hukum alam yang diperuntukkan bagi makhluk-Nya. Oleh
sebab itu, doktrin agama yang ada dalam kitab suci AL-Qur’an merupakan
sumber kebenaran yang sejalan dengan realitas kodrati alam. 6
Sementara itu, dorongan pengembangan ilmu pengetahuan juga
merupakan doktrin konstruktif dalam membangun peradaban manusia yang
maju, namun selain usaha terus menerus dalam meningkatkan maupun
memperluas ilmu pengetahuan, para ilmuan juga perlu meningkatkan
komitmen terhadap nilai-nilai Islami dan bersedia menjadikan AL-Qur’an
sebagai bahan rujukan dalam menemukan kebenaran ilmiah, seperti yang
pernah dilakukan oleh sorang dokter ahli bedah yang berkebangsaan prancis,
ia bernama Maurice Bucaille yang mengikrarkan dirinya sebagai seorang
Muslim ketika ia melakukan penelitiabn tentang sosok Fir’aun yang
5Khozin, Khazanah Pendidikan Agama Islam .... hlm. 81. 6Khozin, Khazanah Pendidikan Agama Islam... hlm. 82.
5
kemudian dirujukkan kebenarannya dengan ayat-ayat yang menjelaskan
tentang Fir’aun di dalam AL-Qur’an. Hal menunjukkan bahwa AL-Qur’an
berisi konsep dan prinsip-prinsip kehidupan yang ajarannya memuat yang
dapat dipahami secara mistis, filsafat dan sains.
Walaupun pada dasarnya terdapat perbedaan antara agama dan sains
dalam hal prinsip berpikir, objek telaah, metodologi dan tujuan akhirnya.
Dimana perbedaannya yaitu prinsip berpikir ilmiah yang dianut sekarang
pada umumnya becorak empiris, rasional, objektif-imparsial, agnosti terhadap
hakikat spiritual, dengan aksioma sebarang spekulatif. Sedangkan prinsip
berpikir agamis adalah empiris meta-empiris, rasional-intuitif, objektif-
partisipatif, menggunakan secara ekspilit peran fungsi spiritual, dan aksioma-
aksiomanya dijabarkan dari ajaran agama. Kemudian objek telaah sains
adalah dunia yang nampak atau dialami yang dipelajari dengan metode
intelektual-rasional, sedangkan objek telaah agama mencangkup juga alam
metafisis dan mengakui peranan hati yang menjelaskan gejala-gejala alam,
dan tujuan akhir dari ilmu agamis adalah beriman dan bertakwa kepada Sang
Pencipta Alam Semesta.7
2. Konsep Sains terhadap Agama Menurut AL-Qur’an
Tuhan telah menurunkan kepada manusia akal dan agama dimana hal
tersebut menjadi suatu bantuan dan bimbingan bagi manusia untuk menjalani
hidupnya. Akal dan agama mengajarkan manusia mengenal dirinya,
mengenal penciptanya dan yang lainnya. Namun sayangnya, di zaman setelah
agam diturunkan masih banyak juga ilmuan ataupun pemikir yang tidak mau
menjadikan agama sebagai rambu-rambu yang menuntun jalan kehidupan
manusia. Peran agama tersingkir dari kegiatan pengembangan sains dan
teknologi, karena doktrin-doktirin agama khususnya yang berasal dari kaum
fundamentalis Kristen, yang mana dalam realitas sosialnya mereduksi
kebebasan intelektual manusia. Padahal pada dasarnya agama lahir di dunia
ini mempunyai tujuan untuk menyampaikan pesan-pesan dari Tuhan.
7Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2003), hlm. 21-22.
6
Ada tiga pilar utama dalam setiap bangunan ilmu pengetahuan atau sains,
yakni pilar ontologis, aksilogis dan epistimologis. Menurut Islam dan
perspektif AL-Qur’an, ketiga pilar tersebut mencangkup ruang lingkup
sebagai berikut.8
a. Pilar ontologis, yakni hal yang menjadi subyek ilmu. Sehubungan
dengan ini, maka sains harus menerima realitas material maupun non-
material.
b. Pilar aksiologis, yakni terkait dengan tujuan ilmu pengetahuan. Tujuan
utama sains adalah mengenal Tuhan sang pencipta melalui pola-pola
ciptaan-Nya.
c. Pilar epistimologis, yakni bagaimana atau dengan apa kita mencapai
suatru ilmu pengetahuan. AL-Qur’an merupakan sumber intelektual
dan spiritual Islam. Ia merupakan pijakan baik bagi agama dan
pengetahuan spiritual maupun bagi semua ilmu pengetahuan.
3. Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam
Terkait dengan integrasi agama dan sains, yang dibutuhkan pendidikan
Islam pada saat ini adalah sistem pendidikan dengan sebutan Interdisplin
Sains dalam Islam (Interdiscipline Sciences in Islam). Paradigma ini sudah
waktunya dikembangkan dalam zaman sekarang ini sebagai jalan kebangkitan
peradaban baru. Dengan sistem pendidikan yang baru yang mana kurikulum
yang diajarkan berupa penyatuan antara ilmu wahyu dan sains. Dengan
demikian, diharapkan lulusan lembaga pendidikan Islam mampu menjabarkan
kaidah-kaidah sains dan agama dalam bentuk cara berfikir dan tingkah laku
(akhlak) secara terpadu dan menyeluruh di masyarakat sehingga di masa
depan akan tercipta tatanan masyarakat yang lebih baik.9
Implikasi dalam hal kurikulum bisa dalam bentuk penyusunan silabus
disekitar dua isu, yakni 1) epistimologi, dan 2) etika. Topik-topik yang
termasuk ke dalam epistimologi terutama berbicara tentang status
epistimologis sains-sains terapan dan rekayasa, hubungan dengan
8Khozin, Khazanah Pendidikan Agama Islam ... hlm. 97-99. 9Iis Arifudin, (Integrasi Sains dan Agama serta Implikasinya terhadap Pendidikan Islam,Jurnal Edukasia Islamika, 2016 Vol. 1, No. 1), hlm. 172.
7
konseptualnya dengan prinsip-prinsip tauhid yaitu pengetahuan metafisika
dan kosmologi yang mengasuk dunia fisik (natural) dan juga dengan
metodologi pemikiran kreatif, serta tidak kalah pentingnya adalah bagaimana
kurikulum yang ada akan mengantarkan peserta didik agar memiliki hasrat
dan kemampuan untuk melakukan penelitian pada bidang-bidang sains untuk
kemudian menemukan titik sambungnya dengan realitas yang terjadi pada
wilayah keagamaan.10
Sedangkan implikasi di dalam proses belajar mengajar yaitu mengenai
peranan penting imajinasi kreatif karena sudah banyak fenomena yang
muncul tentang peranan guru-guru tertentu dengan kekuatan imajinasi
kreatifnya mampu menciptakan metode-metode agar siswanya bisa menyerap
lebih cepat. Sementara itu, implikasinya di dalam aspek pendidikan sosial
keagamaan yaitu para peserta didik akan diajak untuk berfikir secara holistik
dan tidak persial dalam menghayati majemuknya keyakinan dan
keberagamaan. Misalnya dengan melakukan kunjungan ke berbagai tempat
ibadah dari agama yang berbeda, dan mendapatkan penjelasan tentang
prinsip-prinsip etim yang dimiliki oleh semua agama. Dengan itu, siswa juga
diberikan pemahaman bahwa ada satu hal yang menyatukan semua agama
dalam suatu ikatan yang disebut dengan “pengalaman ke-Esa-an”, yang mana
setiap agama mempunyai tafsir yang berbeda-beda sesuai dengan kitab
sucinya masing-masing. Dalam bentuk lain juga bisa mengajak siswa untuk
mencari simbol-simbol harmonisasi yang terbentang di alam raya, untuk
kemudian diinterpretasikan menjadi model-model integrasi antara sains dan
agama.11
Khudori sholeh , menyatakan bahwa sebenarnya lembaga pendidikan
islam telah melakukan integrasi tersebut meskipun dalam pengertian sederhana.12
Lembaga pendidikan islam mulai dari madrasah ibtidaiyah sampai
perguruan tinggi, memang telah memberikan materi-materi ilmu keagamaan
10Iis Arifudin, Integrasi Sains dan Agama... hlm. 174. 11Iis Arifudin, Integrasi Sains dan Agama... hlm. 176. 12 A. Rusdiana, ” Integrasi Pendidikan Agama Islam Dengan Sains Dan Teknologi”, Jurnal Edisi Agustus 2014 Volume Viii No. 2. Hlm. 126.
8
seperti tafsir, hadis, fiqh, dan seterusnya, dan pada waktu yang sama juga
memberikan berbagai disiplin ilmu modern yang diadopsi dari barat. Artinya,
mereka telah melakukan integrasi antara ilmu dan agama. Begitu juga dengan
lembaga pendidikan umum, meskipun lebih rendah dari lembaga pendidikan islam,
akan tetapi dengan adanya kurikulum pendidikan 2013 yang terdapat mata
pelajaran Penididikan Agama Islam dan juga visi misi atau metode dari
kurikulum tersebut yaitu paling pokok untuk beriman kepada allah swt, misalnya
ketika seorang guru mengajar pelajaran umum, sepatutnya untuk mengaitkannya
dengan agama atau menambah pelajaran atau ajaran agama dari pembicaraan-
pembicaraan proses pembelajaran.
Dari penjelasan diatas mengenai pembelajaran lembaga pendidikan islam,
pengertian integrasi antara agama dan sains dengan pendidikan islam bukan
dipahami dengan memberikan materi pendidikan agama islam yang diselingi
dengan dengan materi sains dan teknologi. Tetapi yang dimaksud adalah adanya
integrasi dimana ketika kita menjelaskan di mana ketika kita menjelaskan tentang
suatu materi pendidikan agama islam dapat didukung oleh fakta sains dan
teknologi. Akan tetapi guru juga harus menyadarkan bahwa ajaran agama
memang merupakan kebenaran, hanya saja dengan mengaitkan dengan sains dan
teknologi maka peserta didk akan lebih sadar dalam memahami hal tersebut.
Sebab, di dunia yang demikian modern ini, peserta didik tidak mau hanya sekedar
menerima secara dogmatis saja setiap materi pelajaran agama yang mereka terima.
Secara kritis mereka juga mempertanyakan tentang materi pendidikan agama yang
kita sampaikan sesuai dengan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh dari cara penyampaiannya , ketika guru menyampaikan materi tentang
isra’ mi’raj nabi muhammad saw, memang tidak salah jika kita hanya
menyampaikan bahwa perjalanan yang dilakukan nabi tersebut atas kehendak
allah semata tetapi perlu juga disampaikan pembahasan secara sains dan teknologi
modern. Seperti penjelasan sebelumny, dalil-dalil baik dari al-qur’an ataupun
hadits memanglah benar, tetapi dengan sains akan mengantarkan pemahaman
yang lebih mendalam lagi. Keyakinan atau keimanan kepada allah swt bisa
9
dikuatkan dengan memanfaatkan akal seperti yang telah dijelaskan dalam Al-
Qur’an bahwa manusia adalah orang yang yang harus memanfaatkan akalnya.
C. SIMPULAN
Dari penjelasan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa berbicara
mengenai mengintegrasikan agama dan sains sebenarnya keduanya tidak perlu
diintegrasikan karena pada dasarnya keduanya sudah terintegrasi dari asalnya. Di
dalam agama yang mana berpedoman dengan AL-Qur’an dan Sunnah mengajak
umat manusia untuk mencari dan mendapatkan ilmu. Secara jelas AL-Qur’an
memberikan dorongan kepada manusia untuk befikir, meneliti, dan
mengobservasi guna untuk mendapatkan suatu ilmu yang mana tercantum di
dalam QS. al-Ankabut ayat 20. Ada tiga pilar utama dalam setiap bangunan ilmu
pengetahuan atau sains, yakni pilar ontologis, aksilogis dan epistimologis.
Implikasi dalam hal kurikulum bisa dalam bentuk penyusunan silabus
disekitar dua isu, yakni 1) epistimologi, dan 2) etika. Topik-topik yang termasuk
ke dalam epistimologi terutama berbicara tentang status epistimologis sains-sains
terapan dan rekayasa, hubungan dengan konseptualnya dengan prinsip-prinsip
tauhid yaitu pengetahuan metafisika dan kosmologi yang mengasuk dunia fisik
(natural) dan juga dengan metodologi pemikiran kreatif, serta tidak kalah
pentingnya adalah bagaimana kurikulum yang ada akan mengantarkan peserta
didik agar memiliki hasrat dan kemampuan untuk melakukan penelitian pada
bidang-bidang sains untuk kemudian menemukan titik sambungnya dengan
realitas yang terjadi pada wilayah keagamaan.
10
DAFTAR PUSTAKA
Arifudin Iis..Integrasi Sains dan Agama serta Implikasinya terhadap Pendidikan
Islam,Jurnal Edukasia Islamika ,2016,Vol. I, No. 1).
Djumhana Hanna Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi
Islami. (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2003).
Hidayat Fahri, Pengembangan Paradigma Integrasi Ilmu; Harmonisasi Islam dan
Sains dalam Pendidikan. Jurnal Pendidikan Islam. 2015 Vol. IV, No. 2.
Khozin, Khazanah Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya),
2013.
Mahbub Fuad Siraj,(Integrasi Islam dan Sains, 2013).
Rusdiana A..” Integrasi Pendidikan Agama Islam Dengan Sains Dan Teknologi”,
Jurnal Edisi Agustus ,2014,Vol. Viii No. 2.
11