--> Skip to main content

Hukum Perdata



PENDAHULUAN

            Pernikahan tidak selalu berjalan mulus. Terkadang justru berakhir dengan perceraian.Perceraian dipilih karena dianggap sebagai solusi dalam mengurai benang kusut perjalanan bahtera rumah tangga. Sayangnya, perceraian tidak selalu membawa kelegaan. Sebaliknya, seringkali perceraian justru menambah berkobarnya api perseteruan. Layar kaca pun sering menayangkan perseteruan pada proses maupun paska perceraian yang dilakukan oleh para publik figur Indonesia melalui tayangan-tayangan infotainment. Salah satu pemicu perseteruan adalah masalah hak asuh anak. Apabila pasangan suami istri bercerai, siapa yang berhak mengasuh anak, Ayah ataukah Ibu.
            Ayah yang pada awalnya adalah kepala keluarga, Ia merasa berhak penuh atas hak asuh anak. Di sisi lain, ibu pada awalnya adalah pengelola keluarga. Ia telah hamil, melahirkan, menyusui, merawat, dan mendidik anak. Ia juga merasa berhak penuh atas hak asuh anak.











PEMBAHASAN

A.    Hak Asuh Anak Menurut Syariat Islam
            Ahmad, Abu Daud, dan Al-Hakim telah meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr : Bahwa seorang wanita berkata, “Ya Rasul Allah, sesungguhnya anak saya ini, perut sayalah yang telah mengandungnya, dan tetak sayalah yang telah menjadi minumannya dan haribaankulah yang melindunginya. Tapi bapaknya telah menceraikan aku dan hendak menceraikan anakku pula dari sisiku.” Maka bersabdalah Rasulullah saw. : “Engkaulah yang lebih berhak akan anak itu, selagi belum kawin (dengan orang lain).”
            Demikian halnya saat Umar bin Khattab menceraikan Ummu Ashim dan bermaksud mengambil Ashim bin Umar dari pengasuhan mantan istrinya. Keduanya pun mengadukan masalah ini kepada Abu Bakar r.a. selaku amirul mukminin saat itu.
            Abu Bakar berkata : “Kandungan, pangkuan, dan asuhan Ummu Ashim lebih baik bagi Ashim dari pada dirimu (Umar) hingga Ashim beranjak dewasa dan dapat menentukan pilihan untuk dirinya sendiri.”
            Ayah dan ibu adalah orang tua anak-anaknya. Walaupun ayah dan ibu telah bercerai, anak tetap berhak mendapat kasih dan sayang dari keduanya. Ayah tetap berkewajiban memberi nafkah kepada anaknya. Anak berhak menjadi ahli waris karena merupakan bagian dari nasab ayah dan ibunya. Anak gadis pun harus dinikahkan oleh ayahnya, bukan oleh ayah tiri.
            Bagaimana nasib ibu yang telah menjanda? Ibu yang menjanda akibat diceraikan suaminya maka ia berhak mendapat nafkah dari suami hingga masa iddahnya berakhir (tiga kali haid) serta upah dalam pengasuhan anak baik dalam masa iddah maupun setelahnya hingga anak mencapai fase tamyiz (berakal) dan melakukan takhyir yang memungkinkan ia untuk memilih ikut ibu atau ayah
            Jika anak belum mencapai fase tamyiz (berakal), maka ibu tetap berkewajiban mengasuh anaknya. Jika ibu tidak mampu mengasuh anaknya (misalnya karena : kafir/murtad, tidak waras, dan sebab syar’i lainnya yang tidak memungkinkan dia mengasuh dan mendidik anak), maka pengasuhan dapat dilakukan oleh ibunya ibu (nenek dari anak) hingga garis keturunan seterusnya. Jika dari semua yang tergolong mulai dari ibunya ibu hingga garis keturunan seterusnya tidak mampu mengasuh maka menjadi kewajiban ayah untuk mengasuh atau mencari pengasuh yang mumpuni untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
            Pengasuh yang dipilih bisa ibunya ayah (nenek anak) hingga garis keturunan seterusnya. Bisa juga perempuan lain yang memang mumpuni dalam mengasuh anak. Adapun syarat pengasuh anak adalah baligh dan berakal, mampu mendidik, terpercaya dan berbudi luhur, Islam, dan tidak bersuami.[1]

B.     Hak Asuh Anak Mengacu pada Aturan Perundang-Undangan
1.      Permohonan Untuk Mendapatkan Hak Asuh
            Perlu dicermati bahwa ketentuan Pasal 41 huruf a,UU Perkawinan pada bagian terakhir menyatakan bahwa:
”bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.”
            Berangkat dari ketentuan tersebut maka dalam suatu gugatan perceraian, selain dapat memohonkan agar perkawinan itu putus karena perceraian, maka salah satu pihak juga dapat memohonkan agar diberikan Hak Asuh atas anak – anak (yang masih dibawah umur) yang lahir dari perkawinan tersebut.
            Dalam UU Perkawinan sendiri memang tidak terdapat definisi mengenai Hak Asuh tersebut, namun jika kita melihat Pasal 1 angka 11, Undang Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak),  terdapat istilah ”Kuasa Asuh”  yaitu ”kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.”
            Selain itu juga dalam Pasal 1 angka 10, UU Perlindungan Anak terdapat pula istilah ”Anak Asuh” yaitu : ”Anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.’’

2.      Pemberian Hak Asuh Anak
            Satu-satunya aturan yang dengan jelas dan tegas memberikan pedoman bagi hakim dalam memutus pemberian hak asuh atas anak tersebut terdapat dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan:
“Dalamhalterjadiperceraian:
a.                   Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
b.                  Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.
c.                   Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.”
            Namun dijelaskan kemudian dalam pasal 156 huruf c bahwa seorang Ibu bisa kehilangan Hak Asuh Anaknya (sekalipun masih di bawah 12 tahun) ketika si Ibu dianggap tidak mampu melindungi keselamatan jasmani maupun rohani si anak sehingga menyerahkan Hak Asuhnya malah akan menimbulkan madlorot.
            Ketentuan KHI diatas nampaknya tidak dapat berlaku secara universal, karena hanya akan mengikat bagi mereka yang memeluk agama Islam (yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Agama).
            Sedangkan untuk orang-orang yang bukan beragama Islam (yang perkaranya diperiksa dan diputus di Pengadilan Negeri), karena tidak ada pedoman yang secara tegas mengatur batasan pemberian hak asuh bagi pihak yang menginginkannya, maka hakim dalam menjatuhkan putusannya akan mempertimbangkan antara lain:
Pertama, fakta-fakta yang terungkap di persidangan;
Kedua, bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak, serta argumentasi yang dapat meyakinkan hakim mengenai kesanggupan dari pihak yang memohonkan Hak Asuh Anak tersebut dalam mengurus dan melaksanakan kepentingan dan pemeliharaan atas anak tersebut baik secara materi, pendidikan, jasmani dan rohani dari anak tersebut.
            Misalnya dalam persidangan tersebut terungkap bahwa suami/istri tersebut sering berbuat kasar dan memiliki perilaku yang buruk seperti mabuk, berjudi dan sebagainya. Selain itu akan diperhatikan juga dari segi finansial, apakah pihak yang memohonkan Hak Asuh Anak tersebut memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan baik sandang, pangan dan papan dari anak tersebut nantinya.
Semua ini dipertimbangkan oleh hakim semata-mata dilakukan demi kepentingan dan kemanfaatan dari si anak tersebut. Tentunya mereka yang tidak dapat memberikan penghidupan yang layak bagi si anak, sangat sulit untuk diberikan Hak Asuh.
            Permasalahan lain yang dapat timbul dari pemberian hak asuh tersebut antara lain, keinginan dari pihak Bapak atau Ibu yang tidak mendapat Hak Asuh untuk tetap dapat bertemu dengan anak-anaknya yang berada dalam pengasuhan Bapak atau Ibu yang mendapatkan Hak Asuh atas anak-anak tersebut. Sehingga sekali lagi dapat dikatakan bahwa pemberian Hak Asuh kepada salah satu pihak, entah itu diberikan kepada pihak Bapak atau Ibu, sekali-kali tidak menghilangkan hubungan antara Bapak atau Ibu yang tidak mempunyai Hak Asuh dengan anak tersebut. Hal tersebut dapat dimohonkan agar dituangkan dalam putusan atas perkara tersebut (sesuai dengan permohonan para pihak) agar pihak Bapak atau Ibu sewaktu-waktu dapat bertemu dengan anak-anaknya dengan sepengetahuan dari Bapak atau Ibu yang mempunyai Hak Asuh atas anaktersebut.











[1]Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Anak, Bandung, 2004.
Oldest Post
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar